Pages

KAMUS

Selasa, 06 Januari 2015

Ketika seorang teman berkata: "Bedakan Islam dan Sifat Keislaman!"

https://m.facebook.com/Sidogiri/photos

Islam, sebuah agama bagi orang-orang yang mengakui Allah sebagai Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Islam yang datang di akhir disiapkan untuk menyempurnakan syariat-sariat nabi sebelumnya. Ia datang dibawakan oleh seorang manusia sempurna, manusia pilihan yang kehadirannya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Tidak hanya sebagai suatu agama yang membawa keyakinan akan sosok Tuhan yang disembah, di awal kedatangannya islam sudah mengemban sebuah misi luhur akan kemanusiaan, sosial, etika dan seluruh aspek kehidupan dalam hal meluruskan kebobrokan moral yang ada pada abad ke-7 M di Jazirah Arab. Hal ini terbuki ketika kehadirannya mampu diterima oleh bangsa Arab yang terkenal akan watak yang keras dan tegas. Sejarah bercerita kepada kita bahwa Islam sangat menitikberatkan kepada sikap dan etika indah yang mampu mengajak orang-orang di sekitarnya untuk berada dalam jalan kebaikan. 

--Di sore itu, niat untuk mengerjakan beberapa soal fisika saya urungkan setelah seorang teman datang menghampiri dan duduk di dekat saya. Berawal hanya perkenalan dan meluas hingga tercipta diskusi ringan yang membuat kami tak sadar akan waktu. Menarik adalah ketika di tengah diskusi, ia melontarkan sebuah frase ‘Bedakan antara islam dan sifat keislaman!’. Frase ini masih terngiang hingga saya usai melakukan perbincangan dengannya.--

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah perbedaan antara islam dan sifat keislaman yang dimaksudkan oleh seorang teman tersebut? Apakah istilah islam sudah mengalami penyempitan makna?

Wacana pembedaan antara islam dan sifat keislaman memang mulai tersebar akhir-akhir ini. Pemikiran seperti ini sah-sah saja dan tidak dapat disalahkan. Sebuah pernyataan tentu memiliki alasan kenapa ia muncul. Tidak mungkin seseorang tiba-tiba melontarkan suatu pernyataan tanpa ia melalui proses pencarian dan pemaknaan. Begitu pula dengan pernyataan tentang perbedaan antara islam dan sifat keislaman. Pernyataan ini muncul dari sebuah fakta akan ketidakpuasan individu terhadap klaim islam yang ada. Begitu banyak individu maupun kelompok yang menunjukkan identitas keislamannya seperti orang-orang yang berkata ‘Saya muslim’, ‘Saya dari golongan islam’, atau ‘Saya adalah bagian orang-orang yang memperjuangkan islam’, namun sikap dan tingkah lakunya tidak mencerminkan akan keislamannya. Menjadi ironi ketika justru hal ini bukan hanya tidak disukai oleh kalangan di luar islam, namun juga oleh beberapa muslim lainnya. Seakan tercoreng oleh klaim yang diungkapkan oleh sebagian yang lain, maka muncullah wacana ‘Bedakan antara islam dan sifat keislaman!’

Sejatinya, islam dan sifat keislaman adalah suatu hal yang satu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sifat keislaman adalah bagian dari islam dan islam sangat menekankan sifat keislaman. Artinya, seseorang yang memilih islam sebagai agamanya memiliki konsekuensi bahwa ia betul-betul harus menerapkan akhlak yang telah dicontohkan oleh pembawa islam tersebut. Bahkan islam sendiri sangat menekankan agar nasihat yang kita sampaikan seharusnya sudah diterapkan dalam diri kita terlebih dahulu, sebelum nasihat itu kita sampaikan kepada orang lain.

Lebih jauh lagi, sebenarnya sifat keislaman itu sendiri adalah hal universal yang dapat diterima oleh nilai moral, sehingga  bukan hanya umat islam, namun umat lain pun banyak yang memilikinya. Maka, lebih ironi lagi ketika umat islam sendiri yang memilikinya tidak mencerminkan sifat keislaman tersebut, tetapi umat lain justru lebih nampak sifat keislamannya.

Maka, sebuah pertanyaan bagi saya, anda, dan semua orang yang mengaku islam: ‘Haruskah ada perbedaan antara islam dan sifat keislaman?’ Jawabannya tentu ada pada masing-masing dari kita dan tercermin dari bagaimana kita bersikap sesuai dengan apa yang diajarkan oleh islam.

Senin, 18 Agustus 2014

Apasih Pentingnya Ospek ?



















Nah, jika tahu tentang kampus ini saja tidak, bagaimana ia mempunyai rasa memiliki terhadap universitasnya? Bukankah pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang ?
Sebagai seorang mahasiswa baru, tentu kita dihadapkan pada pertanyaan seberapa pentingkah kegiatan ospek itu? kegiatan yang isinya berupa pemberian tugas-tugas yang bisa dibilang banyak ini merupakan rutinitas tahunan yang dilakukan oleh setiap perguruan tinggi dalam rangka menyambut mahasiswa-mahasiswa barunya. Model tugasnya bermacam-macam, mulai dari yang aneh-aneh seperti membuat perlengkapan dan aksesoris yang membuat malu pemakainya; keterampilan tangan, hingga tugas-tugas yang memerlukan penalaran, pemikiran dan wawasan mahasiswa seperti menulis essay tentang suatu tema tertentu.

Di samping tugas-tugas yang menumpuk itu, ospek juga sangat kental dengan istilah senioritas. Ya, kegiatan ini memang terlihat seperti ‘ajang pelampiasan’ kakak senior pada juniornya seperti apa yang telah dialaminya dulu ketika masih menjadi mahasiswa baru. Sangat mengerikan mendengarnya, seakan-akan mahasiswa baru menjadi mainan kakak kelasnya. Ketika mereka mendapat perlakuan seperti itu, mau tidak mau mereka harus menerimanya, karena aturannya kakak senior selalu benar dan junior tidak berhak menyalahkan kakak seniornya. Alasannya Cuma satu, yaitu karena kakak senior telah memiliki pengalaman lebih banyak di universitas tersebut sedangkan juniornya baru masuk, sehingga kakak senior berhak mengajari adik-adiknya dengan cara mereka. Kegiatan ospek juga semakin terlihat menyeramkan ketika tersebar berita bahwa ada mahasiswa baru yang mengalami luka-luka hingga meninggal saat menjalani kegiatan ini. Tentunya berita ini menjadi sorotan orang tua yang hendak memasukkan putra-putrinya ke bangku perguruan tinggi dan sekaligus menjadi catatan bagi para dosen universitas untuk mengoreksi apa yang salah pada kegiatan ini. Padahal tidak semua, bahkan hanya sedikit kegiatan ospek yang bentuknya seperti itu.

Berbarengan dengan kabar mengerikan itu, mahasiswa baru saat ini cenderung berfikir negatif terhadap seluruh rangkaian ospek. Mereka seakan terdoktrin bahwa kegiatan ospek adalah perpeloncoan senior semata tanpa ada manfaat dibaliknya, padahal kebanyakan dari apa yang dialami mereka jauh dari apa yang diberitakan selama ini.  Mereka seakan tidak mencoba berpikir dan meresapi apa latar belakang diadakannya kegiatan ini, apa pesan yang ingin disampaikan oleh kakak senior, dan apa manfaat yang mereka dapat ambil dari kegiatan ini. Mereka cenderung apatis, tidak ingin diperintah oleh kakak kelas, mudah mengeluh, dan menganggap bahwa kegiatan seperti ini lebih baik tidak dilakukan. Padahal jika mahasiswa yang telah menjalani ospek (tanpa kekerasan) ditanya apakah perlu diadakan ospek, kebanyakan dari mereka akan menjawab perlu.